MAKALAH
ETIKOLEGAL
PERSETUJUAN
TINDAKAN KEDOKTERAN
Disusun
Oleh :
Kelompok
7
Kelas
: A 12.1
Nama
Anggota :
1.
Desi
Damasari
2.
Yuni
H (15150040)
3.
Arum
Kusuma Wardani (15150041)
4.
Siti
Mujirahayu (15150043)
5.
Linda
Ismiati (15150044)
6.
Fellisia
Ersadea (15150045)
PRODI
DIII-KEBIDANAN
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
RESPATI YOGYAKARTA
TAHUN
AKADEMIK 2015/2016
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah
Etikolegal tentang PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 Persetujuan Tindakan
Kedokteran ini. Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Florentina Kusyanti selaku
pengampu mata kuliah Etikolegal yang telah memberikan tugas kepada kami.
Kami
meyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan
makalah ini.
Demikian
yang dapat kami sampaikan, kurang dan lebihnya kami mohon maaf. Atas
perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Yogyakarta,
25 Maret 2016
Hormat
kami,
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Persetujuan Tindakan atau Informed
Consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter
dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang
tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari
aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke
arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain. Tujuan
Informed Consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi
perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif.
Definisi operasionalnya adalah suatu
pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya)
yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan
medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008,
maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan
oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan
pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek
hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan
medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi
orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan
yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak.
1.2.
Rumusan Masalah
1)
Apa yang dimaksud dengan Persetujuan
Tindakan atau Informed Consent?
2)
Apa isi dari PerMenKes Nomor
290/MenKes/Per/III/2008?
3)
Apa sanksi hukum dalam Informed Consent?
1.3.
Tujuan
1)
Agar mahasiswa mengetahui tentang pengertian
persetujuan tindakan persetujuan atau informed consent.
2)
Agar mahasiswa mengetahui tentang isi
dari PerMenKes Nomor 290/MenKes/Per/III/2008.
3)
Agar mahasiswa mengetahui tentang sanksi
hukum dalam informed consent.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Persetujuan Tindakan atau Informed Consent
Secara
harfiah Informed
Consent merupakan padanan kata dari: Informed artinya telah
diberikan penjelasan/informasi, dan Consent artinya persetetujuan
yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu.
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu
“informed” yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi),
dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed
consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta
resiko yang berkaitan dengannya.
Persetujuan tindakan/informed
consent adalah kesepakatan yang dibuat seorang klien untuk menerima rangkaian
terapi atau prosedur setelah informasi yang lengkap, termasuk risiko terapi dan
fakta yang berkaitan dengan terapi tersebut, telah diberikan oleh dokter. Oleh
karena itu, persetujuan tindakan adalah pertukaran antara klien dan dokter.
Biasanya, klien menandatangani formulir yang disediakan oleh institusi.
Formulir itu adalah suatu catatan mengenai persetujuan tindakan, bukan
persetujuan tindakan itu sendiri.
Mendapatkan persetujuan tindakan untuk terapi medis
dan bedah spesifik adalah tanggung jawab dokter. Meskipun tanggung jawab ini
didelegasikan kepada perawat di beberapa institusi dan tidak terdapat hukum
yang melarang perawat untuk menjadi bagian dalam proses pemberian informasi
tersebut, praktik tersebut sangat tidak dianjurkan (Aiken dan Catalano, 1994,
hlm. 104).
2.2.
Isi PerMenKes No 290/MenKes/Per/III/2008
Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam peraturan menteri
ini yang dimaksud dengan:
1.
Persetujuan tindakan kedokteran adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan terhadap pasien.
2.
Keluarga terdekat adalah suami atau
istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara kandung atau
pengampunya.
3.
Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa
preventif, diagnostik, teraupetik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien.
4.
Tindakan Invasif adalah suatu tindakan
medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
5.
Tindakan kedokteran yang mengandung
risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas
tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
6.
Dokter dan dokter gigi adalah dokter,
dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi baik didalam maupun diluar negeri yang diakui
oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7.
Pasien yang kompeten adalah pasien
dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah
menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar,
tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami
penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.
BAB
II
PERSETUJUAN
DAN PENJELASAN
Bagian
Kesatu
Persetujuan
Pasal 2
1)
Semua tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2)
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
3)
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang
perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
1)
Setiap tindakan kedokteran yang
mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani
oleh yang berhak memberikan persetujuan.
2)
Tindakan kedokteran yang tidak termasuk
dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan
persetujuan lisan.
3)
Persetujuan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam
formulir khusus yang dibuat untuk itu.
4)
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan
menganggukan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
5)
Dalam hal persetujuan lisan yang
diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat
dimintakan persetujuan tertulis.
Pasal 4
1)
Dalam keadaan gawat darurat, untuk
menyelamatkan jiwa pasien dan atau/mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan
tindakan kedokteran.
2)
Keputusan untuk melakukan tindakan
kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau
dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.
3)
Dalam hal dilakukannya tindakan
kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib
memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau
kepada keluarga terdekat.
Pasal
5
1)
Persetujuan tindakan kedokteran dapat
dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum
dimulainya tindakan.
2)
Pembatalan persetujuan tindakan
kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis
oleh yang memberi persetujuan.
3)
Segala akibat yang timbul dari
pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan (2) menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.
Pasal 6
Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak
menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam hal
tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien.
Bagian
Kedua
Penjelasan
Pasal 7
1)
Penjelasan tentang tindakan kedokteran
harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta
maupun tidak diminta.
2)
Dalam hal pasien adalah anak-anak atau
orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau orang yang
mengantar.
3)
Penjelasan tentang tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan
kedokteran;
b. Tujuan tindakan kedokteran yang
dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain, dan
risikonya;
d. Risiko dan komplikai yang mungkin
terjadai; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan;
f. Perkiraan pembiayaan.
Pasal
8
1)
Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan
kesehatan pasien dapat meliputi:
a. Temuan
klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
b. Diagnosis
penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurang-kurangnya
diagnosis kerja dan diagnosis banding;
c. Indikasi
atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran;
d. Prognosis
apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
2)
Penjelasan tentang tindakan kedokteran
yang dilakukan meliputi:
a Tujuan tindakan
kedokteran yang dapat berupa tindakan preventif, diagnostik, teraupetik,
ataupun rehabilitatif.
b. Tata cara
pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan,
serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
c. Alternatif tindakan
lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan tindakan yang
direncanakan.
d. Risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.
e. Perluasan tindakan
yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan
komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.
3)
Penjelasan tentang risiko dan komplikasi
tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi
mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:
a.
Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi
pengetahuan umm.
b.
Risiko dan komplikasi yang sangat jarang
terjadi atau yang dampaknya sangat ringan.
c.
Risiko dan komplikasi yang tidak dapat
dibayangkan sebelumnya (unforeseeable).
4)
Penjelasan tentang prognosis meliputi:
a.
Prognosis tentang hidup-matinya (ad
vitam);
b.
Prognosis tentang fungsinya (ad
functionam);
c.
Prognosis tentang kesembuhan (ad
sanationam).
Pasal 9
1)
Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau
cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman.
2)
Penjelasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau
dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan tanggal, waktu,
nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan.
3)
Dalam hal dokter atau dokter gigi
menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien
atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter gigi dapat
memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh
seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi.
Pasal 10
1)
Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah
satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya.
2)
Dalam hal dokter atau dokter gigi yang
merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka
pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain
yang kompeten.
3)
Tenaga kesehatan tertentu dapat
memberikan penjelasan sesuai dengan kewenangannya.
4)
Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan
kesehatan secara langsung kepada pasien.
Pasal 11
1)
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan
perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus
memberikan penjelasan.
2)
Penjelasan kemungkinan perluasan
tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar daripada
persetujuan.
Pasal
12
1)
Perluasan tindakan kedokteran yang tidak
terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa
pasien.
2)
Setelah perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dokter atau dokter gigi harus
memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.
BAB III
YANG BERHAK MEMBERIKAN PERSETUJUAN
Pasal
13
1)
Persetujuan diberikan oleh pasien yang
kompeten atau keluarga terdekat.
2)
Penilaian terhadap kompetensi pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
sebelum tindakan kedokteran dilakukan.
3)
Dalam hal terdapat keraguan persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarganya, dokter atau dokter gigi dapat
melakukan permintaan persetujuan ulang.
BAB
IV
KETENTUAN
PADA SITUASI KHUSUS
Pasal
14
1)
Tindakan penghentian/penundaan bantuan
hidup (withdrawing/withholding life support) pada seorang pasien harus mendapat
persetujuan keluarga terdekat pasien.
2)
Persetujuan penghentian/penundaan
bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter yang
bersangkutan.
3)
Persetujuan sebagaimana dimaksud apad
ayat (1) harus diberikan secara tertulis.
Pasal
15
Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan
sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk
kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan kedokteran tidak
diperlukan.
2.3.
Sanksi Hukum pada Informed Consent
1. Apabila seorang
tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan pasien dipersamakan
dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351 KUHP.
2. Tenaga kesehatan
atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat digugat dengan 1365,
1367, 1370, 1371 KUHPer.
3. Terhadap dokter yang
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya dapat
dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Persetujuan tindakan/informed
consent adalah kesepakatan yang dibuat seorang klien untuk menerima rangkaian
terapi atau prosedur setelah informasi yang lengkap, termasuk risiko terapi dan
fakta yang berkaitan dengan terapi tersebut, telah diberikan oleh dokter. Oleh
karena itu, persetujuan tindakan adalah pertukaran antara klien dan dokter.
Biasanya, klien menandatangani formulir yang disediakan oleh institusi.
Formulir itu adalah suatu catatan mengenai persetujuan tindakan, bukan
persetujuan tindakan itu sendiri.
Persetujuan tindakan kedokteran tercantum dalam
PerMenKes Nomor 290/MenKes/Per/III/2008 yang terdiri dari 8
BAB dan berisi 21 pasal. Didalam PerMenKes tersebut setiap tindakan medis yang
akan dilakukan oleh tenaga kesehatan harus mendapatkan persetujuan dari pasien
terlebih dahulu sebelum dilakukannya tindakan.
3.2.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar